Romo dan Wayang
Romo Agustinus Handi Setyanto, Pr adalah pastor diocesan Keuskupan Purwokerto. Beliau lahir di Purworejo, 26 Agustus 1980, sebagai anak ke-7 dari 7 bersaudara. Sang ayah adalah seorang guru dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Darah seni agaknya mengalir dari sang ayah yang senang dengan kegiatan seni. Dari ayahnya, dia belajar peka terhadap nada, teliti terhadap keindahan lukisan, dsb.
Sejak kecil Romo Handi senang wayang kulit. Wayang kulit diperkenalkan oleh kakak iparnya yang seorang dalang dan guru SMA. Minat itu makin tumbuh dan kemudian mendapat ekspresinya ketika dia boleh menulis karya tulis di SMA Seminari Mertoyudan dengan tema “Wayang Wahyu Surakarta, Media Pewartaan Iman”.
Tahun 2008 adalah awal Romo Handi bereksplorasi terkait dengan krawitan dan pedalangan. Beliau ditugaskan di paroki Tyas Dalem Kroya mulai Agustus 2008 sebagai pastor pembantu. Masyarakat sekitar di Paroki Kroya masih sangat meggemari kesenian tradisional. Salah satunya adalah wayang kulit. Berdasar pengamatan dan pertimbangan yang masak, Romo Handi beserta pastor paroki dan DPP mengusulkan supaya diadakan seperangkat gamelan.
Lama-kelamaan pastoran tempat beliau bertugas mempunyai sanggar krawitan dan wayang. Awal mulanya Romo Handi bertemu dengan Bapak Tugiman, seorang tetangga di depan pastoran. Melalui bapak Tugiman, dia berkenalan dengan Bapak Sutrisno, seorang guru SD yang menguasai krawitan dan pedalangan.
Bersama Bapak Sutrisno, Romo Handi membuka diri dengan mempersilakan masyarakat sekitar untuk datang ke pastoran dan bermain gamelan. Seiring berjalannya waktu dan ketekunan dalam berlatih, berdiri dan berlangsunglah kegiatan wayang wahyu Hamangunsih. Sampai saat ini kegiatan wayang wahyu Hamangunsih tetap berjalan. Terkait perkembangan wayang wahyu, Romo Handi mengharapkan munculnya dalang awam Katolik (bukan pastor).
Sejak kecil Romo Handi senang wayang kulit. Wayang kulit diperkenalkan oleh kakak iparnya yang seorang dalang dan guru SMA. Minat itu makin tumbuh dan kemudian mendapat ekspresinya ketika dia boleh menulis karya tulis di SMA Seminari Mertoyudan dengan tema “Wayang Wahyu Surakarta, Media Pewartaan Iman”.
Tahun 2008 adalah awal Romo Handi bereksplorasi terkait dengan krawitan dan pedalangan. Beliau ditugaskan di paroki Tyas Dalem Kroya mulai Agustus 2008 sebagai pastor pembantu. Masyarakat sekitar di Paroki Kroya masih sangat meggemari kesenian tradisional. Salah satunya adalah wayang kulit. Berdasar pengamatan dan pertimbangan yang masak, Romo Handi beserta pastor paroki dan DPP mengusulkan supaya diadakan seperangkat gamelan.
Lama-kelamaan pastoran tempat beliau bertugas mempunyai sanggar krawitan dan wayang. Awal mulanya Romo Handi bertemu dengan Bapak Tugiman, seorang tetangga di depan pastoran. Melalui bapak Tugiman, dia berkenalan dengan Bapak Sutrisno, seorang guru SD yang menguasai krawitan dan pedalangan.
Bersama Bapak Sutrisno, Romo Handi membuka diri dengan mempersilakan masyarakat sekitar untuk datang ke pastoran dan bermain gamelan. Seiring berjalannya waktu dan ketekunan dalam berlatih, berdiri dan berlangsunglah kegiatan wayang wahyu Hamangunsih. Sampai saat ini kegiatan wayang wahyu Hamangunsih tetap berjalan. Terkait perkembangan wayang wahyu, Romo Handi mengharapkan munculnya dalang awam Katolik (bukan pastor).
Berpastoral dengan musik
Romo Handi senang berdoa meditasi, terutama doa meditatif Taize. Alat musik pendukung yang sering dimainkan dalam berdoa Taize adalah biola. Di tengah-tengah kesibukan sebagai gembala umat, Romo Handi pun menyempatkan diri untuk memberi kursus organ kepada umat. Baginya, bakat sebagai anugerah Tuhan harus dibagikan.