Obrolan Seputar Pentas Wayang Wahyu
Saya bersyukur bahwa pentas Wayang Wahyu membawa dampak positif bagi paguyuban kami, Wayang Wahyu Hamangunsih Kroya.
Terima kasih kepada Romo Sheko dkk yang telah mengundang kami untuk berpentas di Paroki Pemalang. Pengalaman ini membawa kami pada pentingnya persaudaraan dan kedamaian.
Pengalaman pentas di Pemalang rupanya semakin memperkaya kisah perjalanan paguyuban kami. Tadi malam, kami berkumpul di pastoran. Memang malam itu kami mempunyai jadwal latihan. Namun karena beberapa berhalangan hadir, kami akhirnya hanya duduk ngobrol, mengenang pentas terakhir kami. Segala canda, tawa, kritik, saran dan lain-lain berpadu menghiasi pembicaraan kami.
Obrolan akhirnya memang terfokus pada pentas terakhir kami di Pemalang (16 Oktober 2010). Ada yang bercerita tentang pengalaman “ngeri” karena bis carteran yang membawa kami ke Pemalang-Kroya pp mengalami kerusakan rem. Ada yang bertutur tentang kekeliruannya saat memainkan instrumen. Ada yang memuji perkembangan dalangnya. Ada yang menilai sindennya. Ada yang bilang bahwa di Pemalang ternyata ada banyak suster. Ada yang baru tahu bahwa romo punya pemimpin namanya uskup, dsb.
Adalah ibu Ngatirah, seorang guru SD, bersama Bpk Tumudi, juga seorang guru SD. Mereka suami istri yang telah dan sedang belajar menjadi sinden dan wiraswara. Mereka berdua telah dua kali ikut pentas bersama saya, dari tidak bisa nyinden menjadi bisa , dari baik menjadi semakin baik.
Ibu Ngatirah ini (kebetulan namanya persis seperti nama pesindennya Alm Ki Nartosabda, he2), ketika pentas di Pemalang ditanyai oleh seorang umat Pemalang: “Bu, Anda tidak Katolik kok mau sih ikut Romo mengiringi Wayang Wahyu?” Ibu Ngatirah pun menjawab: “Lho, kami kan berkumpul karena sama-sama menyukai kesenian Jawa. Senilah yang menyatukan kami, jadi walaupun berbeda keyakinan, kami mempunyai minat dan tujuan yang sama yakni nguri-uri kebudayaan Jawa.”
“Yah, begitulah, kami berduapuluh tujuh, semua memang tidak Katolik, hanya Romonya saja yang tentu Katolik. Tapi kami dengan senang hati mau dilibatkan dalam pentas Wayang Wahyu, Wayang Katolik”, tambah Pak Trisno, pelatih kami, seorang guru asli kelahiran Kroya.
Saya pun menimpali: “Bapak Ibu, para kadang… saya ingin justru kita menjadi contoh dan menjadi teladan hidup rukun dan damai. Bukankah di situ ada keindahan?”
Saya bersyukur bahwa pentas Wayang Wahyu membawa dampak positif bagi paguyuban kami, Wayang Wahyu Hamangunsih Kroya.
Terima kasih kepada Romo Sheko dkk yang telah mengundang kami untuk berpentas di Paroki Pemalang. Pengalaman ini membawa kami pada pentingnya persaudaraan dan kedamaian.
Pengalaman pentas di Pemalang rupanya semakin memperkaya kisah perjalanan paguyuban kami. Tadi malam, kami berkumpul di pastoran. Memang malam itu kami mempunyai jadwal latihan. Namun karena beberapa berhalangan hadir, kami akhirnya hanya duduk ngobrol, mengenang pentas terakhir kami. Segala canda, tawa, kritik, saran dan lain-lain berpadu menghiasi pembicaraan kami.
Obrolan akhirnya memang terfokus pada pentas terakhir kami di Pemalang (16 Oktober 2010). Ada yang bercerita tentang pengalaman “ngeri” karena bis carteran yang membawa kami ke Pemalang-Kroya pp mengalami kerusakan rem. Ada yang bertutur tentang kekeliruannya saat memainkan instrumen. Ada yang memuji perkembangan dalangnya. Ada yang menilai sindennya. Ada yang bilang bahwa di Pemalang ternyata ada banyak suster. Ada yang baru tahu bahwa romo punya pemimpin namanya uskup, dsb.
Adalah ibu Ngatirah, seorang guru SD, bersama Bpk Tumudi, juga seorang guru SD. Mereka suami istri yang telah dan sedang belajar menjadi sinden dan wiraswara. Mereka berdua telah dua kali ikut pentas bersama saya, dari tidak bisa nyinden menjadi bisa , dari baik menjadi semakin baik.
Ibu Ngatirah ini (kebetulan namanya persis seperti nama pesindennya Alm Ki Nartosabda, he2), ketika pentas di Pemalang ditanyai oleh seorang umat Pemalang: “Bu, Anda tidak Katolik kok mau sih ikut Romo mengiringi Wayang Wahyu?” Ibu Ngatirah pun menjawab: “Lho, kami kan berkumpul karena sama-sama menyukai kesenian Jawa. Senilah yang menyatukan kami, jadi walaupun berbeda keyakinan, kami mempunyai minat dan tujuan yang sama yakni nguri-uri kebudayaan Jawa.”
“Yah, begitulah, kami berduapuluh tujuh, semua memang tidak Katolik, hanya Romonya saja yang tentu Katolik. Tapi kami dengan senang hati mau dilibatkan dalam pentas Wayang Wahyu, Wayang Katolik”, tambah Pak Trisno, pelatih kami, seorang guru asli kelahiran Kroya.
Saya pun menimpali: “Bapak Ibu, para kadang… saya ingin justru kita menjadi contoh dan menjadi teladan hidup rukun dan damai. Bukankah di situ ada keindahan?”