Eksponen Majalah Hidup
AGUSTINUS HANDI SETYANTO PR
Mewartakan Sabda lewat Mendalang
Gamelan mulai dibunyikan dan sinden mulai bernyanyi. Saatnya pertunjukan wayang kulit dimulai. Narator memberi pengantar cerita. Dengan duduk bersila, sang dalang mulai memainkan wayangnya. Pertama ia menunjukkan gunungan (pahatan lukisan berbentuk gunung untuk mengawali, membatasi antar babak, dan mengakhiri cerita) wayang untuk memberi setting tempat. Lalu ia pun memainkan wayang-wayangnya. Sekilas sama seperti pertunjukkan wayang pada umumnya. Namun sang dalang satu ini memanglah berbeda. Dialah Pastor Agustinus Handi Setyanto Pr (30 tahun).
Awal mula mendalang
Pastor Handi, panggilan akrabnya, mendapat tugas perdana di Paroki Tyas Dalem Kroya pada Agustus 2008. Sebagai pastor baru, ia tentu mempunyai semangat yang menyala-nyala dan penuh idealisme. Namun ternyata ia harus mau berpikir realistis dengan keadaan umatnya. Umat Katolik di Kroya, seperti umumnya di paroki pedesaan, masih belum mau terlibat aktif berparoki. Mereka lebih senang terlibat di lingkungan/stasinya masing-masing dan kurang berani tampil sebagai pelaku/aktifis gereja.
Berawal dari keprihatinan itulah, Pastor Handi mulai berpikir apa yang bisa ia lakukan untuk memajukan umat Katolik Kroya. Maka di bulan pertama, ia mengunjungi umat dan mengadakan Ekaristi Lingkungan. Umat menanggapinya dengan baik, bahkan mereka sangat senang dengan bincang-bincang setelah ekaristi lingkungan. Untuk itulah Pastor Handi selalu menyiapkan bahan katekese umat sebagai homili dan bahan diskusi
Tak hanya itu, Pastor Handi juga memperhatikan Orang Muda Katolik (OMK) Kroya yang dipandangnya sebagai gambaran gereja Kroya di masa mendatang. Ia lalu membuat program kegiatan yang tegas, jelas, serta laporan dan dokumen yang tersimpan rapi. Selain itu ia selalu menekankan semangat kedisiplinan, mau terlibat dan sesanti “Aja wedi kangelan”(jangan takut untuk bekerja keras)
Tantangan berikutnya bagi Pastor Handi adalah menyelaraskan bakat pribadinya dalam berkesenian dengan karya pastoral. Ia lalu mengamati bahwa kebudayaan Jawa (yang di dalamnya ada gamelan, seni krawitan, dan wayang) masih digemari penduduk setempat. Namun sayangnya para dalang amatir, kesulitan untuk menyewa wayang dan gamelan. Melihat hal itu, Pastor Handi langsung mengusulkan untuk menyediakan seperangkat gamelan di pastoran. Maka terbentuklah kelompok krawitan. Kelompok ini membuat liturgi menjadi hidup dan paguyuban serta keterlibatan umat dalam berparoki semakin kuat. Untuk meningkatkan kepercayaan diri dan keberanian untuk “tampil”, Pastor Handi mengajak mereka bekerjasama mengiringi wayang wahyu dengan ia sebagai dalangnya.
Pastor Handi tak mau hanya ‘sekedar’ mendalang untuk hiburan. Ia memiliki misi yang lebih besar yaitu mengunakannya sebagai sarana mewartakan iman. Maka ia memilih mementaskan wayang wahyu yaitu wayang kulit yang ceritanya diambil dari Kitab Suci baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Pesan Kitab Suci dapat diterima dengan mudah melalui pementasan wayang wahyu. Umat dengan mudah mengenal dan menghafal tokoh-tokoh dalam Kitab suci, keutamaan-keutamaan yang para tokoh miliki, dan pelajaran tentang kehidupan sehari-hari.
Pastor Handi pertama kali mementaskan wayang wahyu itu di Paroki Tyas Dalem Kroya paroki tempat ia berkarya sekarang, (12/12/2009) dengan lakon/cerita Pembebasan Israel. Pastor muda kelahiran 26 Agustus ini semakin tertarik untuk mementaskan wayang wahyu dengan cerita lain yang disusunnya sendiri. Maka pada 28/5/2010, ia pentas kembali dengan lakon Sang Maria. Kesuksesan kedua pertunjukan wayang tersebut mengantarnya “manggung” keluar kota seperti Adipala, Tegal, Pemalang, Purwokerto, dan terakhir di Gombong pada 7/2/2011 kemarin. Pentas di Gombong adalah pentas yang ke-7. “Saya sudah membawakan empat cerita, yaitu: Pembebasan Israel, Sang Maria, Wiyos Dalem dan Elias Sang Pinunjul,” tutur Pastor Handi senang.
Ada proses yang menarik dalam membuat naskah cerita. Pertama Pastor Handi memilih cerita dengan kriteria sarat permenungan, ajaran Kitab Suci dan iman, ada unsur hiburan/humor, tidak menyinggung SARA, bisa dimengerti semua orang (termasuk yang tidak paham Bahasa Jawa), maka dipakailah narasi bahasa Indonesia, dan sudah layak dipentaskan dari sisi keseniannya (wayang dan krawitan). Kedua, ia perlu membaca buku lain (novel, tafsir KS) selain Kitab Suci sebagai sumber utama. Ia juga harus bertanya pada ahli Kitab Suci soal penokohan (karakterisasi tokoh), setting tempat dan waktu, serta latar belakang cerita. Cerita yang sudah disusun lalu didiskusikan kepada ahli penulis naskah drama/teater. Ketiga menyesuaikan cerita dengan pelatih krawitan. Hal ini bertujuan agar atmosfer cerita dan iringan musiknya selaras. (misal saat sedih, gembira, tegang/genting). Kemudian cerita itu dipraktekkan bersama pengiring. Setelah itu evaluasi dan memilah bagian cerita mana yang berupa hiburan, ajaran moral/iman, dan bagian mana yang pantas dipentaskan /tidak. Untuk mementaskan lakon/cerita baru dibutuhkan waktu persiapan 2-3 bulan.
Teladan hidup yang harmoni
Sebagai dalang, Pastor Handi tidak dapat pentas sendiri. Ia memerlukan pengiring yang terdiri dari para penabuh gamelan dan juga sindennya. Uniknya, kelompok pengiring tersebut semuanya bukan beragama Katolik. Meski demikian, mereka mau bekerja sama mengiringi Wayang Wahyu (Wayang Katolik). Inilah Kelompok Krawitan/Wayang Wahyu “Hamangunsih” (membangun kasih), yang anggotanya terdiri dari buruh tani, tukang ojek, tukang parkir, guru dan wiraswasta. Nama Hamangunsih sendiri diberikan oleh guru mendalang Pastor Handi.
Kesamaan minat, rutinitas latihan , dan harapan untuk bisa pentas dengan baik membuat kelompok krawitan/wayang wahyu Hamanungsih semakin kompak. Untuk terus menjaga kekompakan, Pastor Handi sebagai pemimpin kelompok berusaha menyapa mereka satu persatu secara pribadi.
Ini peristiwa langka, seorang dalang Pastor Katolik didukung oleh pemain gamelan yang semuanya beragama Islam. “Dalam pentas, saya selalu mengatakan bahwa kelompok Hamangunsih haruslah menjadi teladan hidup yang harmoni” , terang Pastor Handi.
Hikmah yang dapat dipetik oleh kelompok ini yaitu tercerminlah paguyuban lintas keyakinan, umat semakin tertarik dengan tokoh-tokoh Kitab Suci sehingga tujuan katekese (pewartaan) dapat tercapai, dan umat Katolik Kroya semakin diakui keberadaannya.
Memanglah terbukti bahwa seni adalah ‘bahasa’ yang universal. Sarana untuk menyatukan perbedaan dan membuatnya menjadi harmoni yang indah.
Namun Pastor Handi tidak ingin berbesar kepala dengan karyanya ini. “Saya selalu berhati-hati dalam bertindak agar karya pribadi jangan sampai mendominasi karya pastoral saya,” sahutnya rendah hati.
Tantangan seorang dalang
Pedalangan/pewayangan merupakan salah satu ‘rumpun’ Seni Pertunjukan yang Multi Kompleks. Dalam pedalangan (seni dalang) termuat berbagai persoalan yang terkait dengan berbagai macam aspek cabang seni lain seperti: seni tari, sastra, tatah sungging (seni pahat dan lukis wayang), seni rupa, seni suara, seni karawitan, seni tata panggung, dan filsafat. Seni tari muncul lewat cara dalang menarikan/mengerakkan wayangnya dengan diiringi musik gamelan. Sedangkan sastra pada wayang yaitu dalam penyusunan naskah menggunakan bahasa Jawa yang disusun dengan indah seperti puisi. Tatah (pahat) dan sungging (melukis wayang) mencerminkan seni rupa dan lukis. Semakin bagus tatah dan sunggingannya, semakin mahal nilai wayang itu. Cerita wayang merefleksikan juga pengalaman hidup manusia sampai sedalam-dalamnya. Itulah filsafat dalam wayang.
Pastor Handi menuturkan seorang dalang haruslah menguasai seni musik (iringan), seni suara (nembang), dan seni drama (penjiwaan masing-masing karakter tokohnya). Misalnya saat ia memainkan tokoh-tokoh wayangnya. Untuk membuat tokoh-tokoh wayang itu “hidup” , Pastor Handi harus melakukan gerakan sabetan (gerak wayang yang meliputi tarian, lakuan, dan lagaan) dengan lincah dan terampil. Tarian adalah gerak wayang yang diiringi nyanyian dan gamelan. Lakuan adalah gerak wayang yang hanya diiringan kecrek atau kendang. Sedangkan lagaan adalah gerak wayang dalam peperangan baik dengan iringan gamelan maupun hanya diiringi kecrek dan kendang. Seorang dalang juga harus bisa nembang (menyanyi Jawa) Tembang yang dinyanyikan oleh dalang disebut suluk. Kata-kata dalam suluk berfungsi untuk menggambarkan suasana cerita dan doa (mantra).
Inilah tantangan bagi seseorang yang ingin belajar mendalang. Karena ia harus mampu mempelajari menguasai, dan memadukan berbagai macam seni yang lain. Namun Pastor Handi menghadapinya dengan tenang. Ia selalu menekankan bahwa ia bukanlah seorang dalang, tetapi ia adalah Pastor Katolik Roma yang sedang belajar mendalang. Mendalang baginya adalah salah satu bentuk tugasnya sebagai pewarta Sabda.
“Maka saya minta kepada semua yang mengundang saya untuk mendalang, jangan sampai pertunjukan berlarut-larut. Sehingga membuat saya tidak bisa memimpin ekaristi di pagi harinya,” sahutnya tegas. Ia tidak kesulitan membagi waktu antara tugas sebagai pastor paroki dan latihan karena waktu latihan adalah malam hari, yakni setelah semua tugas pastoralnya selesai.
Pentas wayang Elias sang Pinunjul
Pada (7/2/2011) banyak orang memenuhi Jalan Gereja Gombong. Ada tenda raksasa di depan gereja Santo Mikael Gombong. Setelah atraksi barongsai, penonton diajak pembawa acara memasuki tenda raksasa itu. Pastor Handi memulai aksi mendalangnya. Malam itu ia mengambil lakon Elias Sang Pinunjul. Fokus cerita ada pada tokoh perjanjian Lama (Kitab 1Raja-raja) yang bernama Elia (ejaan Jawa menjad Elias atau Ilyas). Elia disebut "pinunjul" artinya: penuh keutamaan (hebat dalam olah batin). Cerita ini mau melukiskan perjuangan nabi Elia dalam mewartakan kebenaran. Kisah ini menjadi lebih hidup dan seru dengan hadirnya tragedi perebutan kebun anggur Nabot oleh Raja Ahab. Pastor Handi memainkan adegan lagan (peperangan) ini dengan sangat indah sehingga umat yang hadir sekan ikut merasakan atmosfer perang itu.
Pertunjukan wayang wahyu yang berdurasi kurang lebih tiga jam ini menjadi makin menarik karena diselingi dengan tokoh komedi Aman dan Amin seperti halnya hadirnya tokoh punakawan dalam Wayang Purwa. Dengan gaya humornya, Pastor Handi menggunakan kedua tokoh komedi ini untuk mengupas ajaran iman Katolik. Pagelaran wayang ini diakhiri dengan kisah bertobatnya Raja Ahab. Israel pun kembali mendapatkan hujan, menemukan kembali kebahagiaan dan kesejahteraan dalam iman akan Allah.
Pastor Handi menemukan kebahagiaan setiap mendalang. Salah satunya karena banyak pelajaran moral yang didapat dalam setiap cerita wayang. Cerita dalam pertunjukan wayang kulit sejatinya menampilkan ajaran moral, dimana manusia hidup diharapkan dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Manusia tidak akan dapat lari dan melepas tanggung jawab dari tindakan-tindakannya. Inilah salah satu ajaran wayang tentang bagaimana manusia harus bersikap.
Begitu pentas wayang usai, Pastor Handi pun bersiap-siap pulang ke parokinya. Tugas-tugas pastoral sudah menantinya. Namun ia pulang dengan membawa suasana hati yang penuh kebahagiaan, Baginya, mendalang berarti caranya mewartakan kasih Tuhan dalam Kitab Suci. Sang dalang pun kembali bertugas sebagai gembala umat. Suatu identitas dan amanat luhur yang tidak ingin dilupakannya.
Ivonne Suryanto